Setiap orang punya cara unik untuk mengekspresikan dirinya—dari pakaian yang dikenakan, cara berbicara, hingga kebiasaan sehari-hari. Gaya bukan sekadar tampilan luar, melainkan cerminan cerita hidup yang pernah dijalani seseorang. Di balik sepatu kets lusuh atau jaket denim yang penuh tambalan, ada kisah perjuangan, pilihan, atau mungkin bentuk perlawanan terhadap standar yang seragam. Karena itu, jangan buru-buru menilai orang dari penampilannya—karena beda gaya, beda cerita.
Di satu sudut kota, kita bisa melihat seseorang berpakaian formal rapi dari kepala hingga kaki. Mungkin ia sedang mengejar mimpinya dalam dunia kerja profesional, dan jas itu adalah bentuk penghargaan terhadap apa yang ia kejar. Di sisi lain, ada pula yang tampil santai dengan kaus oblong dan celana sobek. Bukan karena tak mampu membeli yang lebih baik, tapi karena ia nyaman dengan cara itu—gaya yang mengekspresikan kebebasan dan penolakan terhadap tekanan sosial. Gaya menjadi bahasa non-verbal yang menyampaikan: "Inilah aku, dengan segala pilihanku."
Menariknya, gaya juga berkembang dari lingkungan, pengalaman, hingga krisis identitas. Ada yang menemukan dirinya lewat eksperimen gaya bertahun-tahun. Ada pula yang baru merasa benar-benar 'diri sendiri' setelah keluar dari pakem yang selama ini dianggap normal. Bahkan perbedaan kecil—seperti memilih ransel daripada tas jinjing, atau sneakers daripada sepatu kulit—sering kali punya makna tersendiri yang hanya dimengerti oleh pemiliknya. Setiap gaya menyimpan lapisan-lapisan cerita yang tak semua orang lihat, tapi sangat berarti bagi si pemilik.
Pada akhirnya, keberagaman gaya seharusnya tidak membuat kita berjarak, justru seharusnya menjadi jembatan untuk saling memahami. Setiap orang punya cerita yang membentuk pilihan-pilihan mereka hari ini. Maka alih-alih memaksa keseragaman, mari belajar merayakan perbedaan. Karena dalam dunia yang penuh warna, justru keberagaman gaya-lah yang membuat cerpen bahagia hidup kita jauh lebih menarik.